Pelan-Pelan, Aku Belajar Menerima
Pelan-Pelan, Aku Belajar Menerima
Hari itu, dunia serasa menghentak kepalaku tanpa ampun. Aku duduk diam di ruang praktik dokter spesialis penyakit dalam, mendengar hasil diagnosis yang seakan menampar semua harapan dan mimpi yang kupelihara selama ini.
“Fungsi ginjalmu menurun drastis. Kamu mengidap penyakit ginjal kronis stadium lanjut, dan harus mulai menjalani hemodialisis dua kali seminggu.”
Aku tak langsung menangis. Tidak. Justru tubuhku beku. Otakku kosong. Seperti layar putih tanpa suara. Tapi ketika sampai rumah, semuanya pecah. Tangis, jeritan dalam hati, bahkan marah yang tak bisa dijelaskan. Aku merasa ini tidak adil. “Kenapa harus aku? Kenapa bukan mereka?”
Aku bukan pecandu. Aku tak pernah menyentuh narkoba. Bahkan rokok pun aku jauhi sejak muda. Aku selalu menjaga kesehatan, minum air cukup, makan dengan pola yang lumayan baik. Tapi tetap, aku divonis harus hidup bergantung pada mesin cuci darah. Hidupku terasa runtuh. Mimpi-mimpiku sebagai guru desain komunikasi visual yang ingin membangun sekolah kreatif bagi anak-anak desa… mendadak menjadi siluet buram.
Minggu-minggu pertama berjalan seperti mimpi buruk yang tak kunjung usai. Tubuhku lemas, semangatku hilang, dan pikiranku terus diselimuti pertanyaan penuh amarah: "Kenapa aku?" "Harusnya bukan aku." Aku mulai menarik diri dari teman, rekan kerja, bahkan dari Tuhan.
Sampai akhirnya, satu malam, rasa cemas datang seperti badai besar. Aku menggigil, sesak, batuk, berkeringat dingin hingga baju basah kuyup. Aku benar-benar yakin saat itu aku akan mati. Tapi tidak. Aku masih hidup. Tubuhku masih di sini, meski pikiranku kacau.
Esoknya, aku memberanikan diri ke psikiater. Aku duduk, menangis tanpa malu. “Saya takut, Dok. Saya merasa hidup saya sudah habis,” kataku dengan suara pecah. Dokter menatapku tenang dan menjawab dengan sabar, “Kamu belum menerima kondisimu. Kamu masih dalam fase denial dan anger. Tapi itu wajar. Yang perlu kita lakukan sekarang adalah berjalan bersama menuju tahap penerimaan.”
Kata-kata itu terus terngiang selama beberapa minggu. “Menuju tahap penerimaan.”
Hari demi hari, aku belajar kembali membangun diriku. Bukan dengan semangat membara, tapi dengan langkah kecil yang sering kali tertatih. Aku mulai membaca buku-buku spiritual dan psikologi. Menulis jurnal. Menggambar kembali sketsa-sketsa desain yang lama kutinggalkan. Bahkan, aku mulai merekam video pendek sebagai terapi: berbagi kisah tentang perjuanganku, tentang sakit, dan tentang belajar menerima.
Satu hal yang mengubah arah hidupku adalah ketika aku menulis kalimat di sebuah kertas kecil dan menempelkannya di depan meja kerja:
"La Tahzan, Innalaha Ma’ana."
Jangan bersedih. Allah bersama kita.
Kalimat sederhana itu menjadi mantraku setiap kali kecemasan datang. Setiap kali aku ingin menyalahkan takdir. Setiap kali tubuhku terasa hancur pasca cuci darah.
Kini, aku masih harus menjalani hemodialisis dua kali seminggu. Tapi aku tak lagi memandangnya sebagai hukuman. Ini adalah bentuk ikhtiarku untuk bertahan hidup. Ini bukan akhir, tapi transisi menuju fase hidup yang lebih dalam maknanya.
Aku memang belum sepenuhnya sampai di tahap penerimaan total. Tapi aku berjalan ke arahnya, perlahan, tapi pasti. Aku belajar bahwa menerima bukan berarti menyerah, tapi berdamai. Bahwa ikhlas bukanlah menghapus luka, tapi membiarkan luka itu menjadi bagian dari cerita hidup kita.
Dan setiap kali aku merasa lelah, aku kembali mengingat:
“La Tahzan, Innalaha Ma’ana.”
Karena ternyata… aku tidak sendiri. Tuhan tidak pernah meninggalkanku. Aku hanya perlu belajar untuk percaya lagi.
Komentar
Posting Komentar